Jumat, 01 Januari 2016

Eksistensi Pasar Tradisional Ditengah Pesona Pasar Modern

Eksistensi Pasar Tradisional Ditengah Pesona Pasar Modern

PENDAHULUAN
Di Indonesia, supermarket lokal telah ada sejak 1970-an, meskipun masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Supermarket bermerek asing mulai masuk ke Indonesia pada akhir 1990-an semenjak kebijakan investasi asing langsung dalam sektor usaha ritel dibuka pada 1998. Meningkatnya persaingan telah mendorong kemunculan supermarket di kota-kota  kecil dalam rangka  mencari pelanggan baru dan terjadi perang harga. Akibatnya, bila supermarket Indonesia hanya melayani masyarakat kelas menengah-atas pada era 1980-an sampai awal 1990-an (CPIS 1994), penjamuran supermarket hingga ke kota-kota kecil dan adanya praktik pemangsaan melalui strategi pemangkasan harga memungkinkan konsumen kelas menengah-bawah untuk mengakses supermarket (Suryadarma, 2007).
Kota Pati merupakan salah satu kota kecil di Indonesia. Kabupaten Pati mempunyai luas wilayah 1.503,68 km2. Dengan jumlah penduduk mencapai 1.265.225 pada akhir tahun 2009, maka Kabupaten Pati secara umum mempunyai kepadatan penduduk 841 jiwa per km2. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2008 sebesar 830 jiwa per km2 (BPS, 2009). Namun hal itu tidak menutup kemungkinan bagi usaha ritel modern untuk memasuki pangsa pasar ritel tradisional. Saat ini banyak kita jumpai minimarket di sepanjang jalan di kota, seperti minimarket Alfamart, Indomart, dan minimarket sejenis lainnya yang menjamur di beberapa tempat strategis di kota Pati.. Yang paling menonjol adalah kehadiran Luwes Supermarket yang berada di Jalan dr.Sutomo. Supermarket dan minimarket ini menjual berbagai kebutuhan rumah tangga serta berbagai produk lainnya yang kualitasnya tidak jauh berbeda dengan produk yang dijual di Pasar tradisional ataupun peritel rumahan.
Kehadiran peritel modern pada awalnya tidak mengancam pasar tradisonal. Kehadiran para peritel modern yang menyasar konsumen dari kalangan menengah keatas, saat itu lebih menjadi alternatif dari pasar tradisional yang identik dengan kondisi pasar yang kumuh, dengan tampilan dan kualitas yang buruk, serta harga jual rendah dan sistem tawar menawar konvensional. Namun sekarang ini kondisinya telah banyak berubah. Supermarket dan Hypermarket tumbuh bak cendawan dimusim hujan. Kondisi ini muncul sebagai  kosekuensi dari berbagai perubahan dimasyarakat. Sebagai konsumen, masyarakat menuntut hal yang berbeda di dalam aktifitas berbelanja. Kondisi ini masih ditambah semakin meningkatnya pengetahuan, pendapatan, dan jumlah keluarga berpendapatan ganda (suami istri bekerja) dengan waktu berbelanja yang terbatas. Konsumen menuntut peritel untuk memberikan nilai lebih dari setiap sen uang yang dibelanjakan. Peritel harus mampu mengakomodasi tuntutan tersebut jika tak ingin ditinggalkan para pelanggannya (Ekapribadi, 2007).
Keberadaan supermarket dan minimarket yang tersebar luas di kota Pati tentu saja sedikit banyak berpengaruh terhadap ritel tradisional di pasar tradisional ataupun ritel rumahan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Esther dan Didik (2003)  memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang dimasyarakat kita. Tidak hanya di kota metropolitan saja tetapi sudah merambah sampai kota kecil di tanah air. Sangat mudah menjumpai minimarket, supermarket bahkan hypermarket di sekitar tempat tinggal kita. Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Namun dibalik kesenangan tersebut ternyata telah membuat para peritel kelas menengah dan kelas bawah mengeluh. Dampak keberadaan pasar modern terhadap pedagang pasar tradisional mungkin tidak secara jelas, sebab ada juga beberapa penyebab lain turunnya kinerja usaha pasar tradisional. Misalnya karena Pedagang Kaki Lima (PKL), keadaan pasar yang kurang nyaman, turunnya daya beli masyarakat akibat krisis, dan penyebab lainnya.
PASAR TRADISIONAL
Pasar tradisonal adalah pasar yang dikelola secara sederhana dengan bentuk fisik tradisional yang menerapkan system transaksi tawar menawar secara langsung dimana fungsi utamanya adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat baik di desa, kecamatan, dan lainnya (Sinaga,2008).
Harga dipasar tradisional ini mempunyai sifat yang tidak pasti , oleh karena itu bisa dilakukan tawar menawar. Bila dilihat dari tingkat kenyamanan, pasar tradisional selama ini cenderung kumuh dengan lokasi yang tidak tertata rapi. Pembeli di Pasar tradisional (biasanya kaum ibu) mempunyai perilaku yang senang bertransaksi dengan berkomunikasi /berdialog dalam hal penetapan harga, mencari kualitas barang, memesan barang yang diinginkan, dan perkembangan harga-harga lainnya.
Barang yang dijual dipasar tradisional umumnya barang-barang lokal dan ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, barang yang dijual di pasar tradisional dapat terjadi tanpa melalui penyortiran yang kurang ketat. Dari segi kuantitas, jumlah barang yang disediakan tidak terlalu banyak sehingga apabila ada barang yang dicari tidak ditemukan di satu kios tertentu, maka dapat dicari ke kios lain. Rantai distribusi pada pasar tradisional terdiri dari produsen, distributor, sub distributor, pengecer, konsumen. Kendala yang dihadapi pada pasar tradisional antara lain system pembayaran ke distributor atau sub   distributor dilakukan dengan tunai, penjual tidak dapat melakukan promosi atau memberikan discount komoditas. Mereka hanya bisa menurunkan harga barang yang kurang diminati konsumen. Selain itu, dapat mengalami kesulitan  dalam memenuhi kontinyuitas barang, lemah dalam penguasaan teknologi dan menejemen sehingga melemahkan daya saing.
Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah. Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, termasuk kerjasama  swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/ dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar-menawar (Pepres RI No. 112, 2007).
Sebagian konsumen pasar tradisional adalah masyarakat kelas menengah kebawah yang memiliki karakteristik sangat sensitive terhadap harga. Ketika faktor harga rendah yang sebelumnya menjadi keunggulan pasar tradisional mampu diruntuhkan oleh pasar modern, secara relative tidak ada alasan konsumen dari kalangan menengah kebawah untuk tidak turut berbelanja ke pasar modern dan meninggalkan pasar tradisional (Wildan, 2007).
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual dan pembeli secara langsung. Dalam pasar tradisional terjadi proses tawar menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-sehari seperti bahan – bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian, barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu ada juga yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak di temukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar (Wikipedia, 2007)
PASAR MODERN
Pasar Modern adalah pasar yang dikelola dengan manajemen modern, umumnya terdapat diperkotaan, sebagai penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen yang pada umumnya anggota masyarakat kelas menengah keatas. Pasar modern antara lain mall, supermarket, department store, shopping centre, waralaba, toko mini swalayan, pasar serba ada, toko serba ada dan sebagainya (Sinaga, 2008).
Barang yang dijual disini memiliki variasi jenis yang beragam. Selain menyediakan barang lokal, pasar modern juga menyediakan barang impor. Barang yang dijual mempunyai kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui penyeleksian yang ketat sehingga barang yang tidak memenuhi persyaratan klasifikasi akan di tolak. Dari segi kuantitas, pasar modern umumnya mempunyai persediaan barang di gudang yang terukur. Dari segi harga, pasar modern memiliki label harga yang pasti. Pasar modern juga mmberikan pelayanan yang baik dengan adanya pendingin udara yang sejuk, suasana nyaman dan bersih, display barang perkategori mudah dicapai dan relatif lengkap, informasi produk tersedia melalui mesin pembaca, adanya keranjang belanja atau keranjang dorong serta ditunjang adanya kasir dan pramuniaga yang bekerja secara profesional. Rantai distribusi pada pasar ini adalah produsen – distributor – pengecer/konsumen.
Dalam pasar modern penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung. Pembeli melihat label harga yang tercantum dalam bar code, berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang- barang yang dijual, selain bahan makanan seperti: buah, sayuran, daging, sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan, Hypermart, Supermarket, dan Minimarket (Wikipedia, 2007).
EKSISTENSI PASAR TRADISIONAL DENGAN MODERN
Di Indonesia pangsa pasar dan kinerja usaha pasar tradisional menurun, sementara pada saat yang sama pasar modern mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kontribusi pasar tradisional sekitar 69,9% pada tahun 2004, menurun dari tahun sebelumnya (2003) sekitar 73,7%. Kondisi sebaliknya terjadi pada Supermarket dan Hypermarket, kontribusi mereka kian hari kian besar. Pada tahun 2003 kontribusi pasar modern sebesar 26,3 % mengalami kenaikan pada tahun berikutnya, 2004 menjadi 30,1% (Anonimous, 2007).
Tabel: Kontribusi pasar tradisional dan pasar modern dalam memenuhi kebutuhan pasar :
Tahun
Pasar Tradisional (%)
Pasar Modern (%)
Permintaan Pasar
2000
78,1
21,9
100
2001
75,2
24,8
100
2002
74,8
25,2
100
2003
73,7
26,3
100
2004
69,9
30,1
100
Sumber: Penelitian Lembaga AC.Nielsen (2007)
Menurunnya kinerja pasar tradisional selain disebabkan oleh adanya pasar modern, penurunannya justru lebih disebabkan oleh lemahnya daya saing para peritel tradisional (Harmanto, 2007). Kondisi pasar tradisional pada umumnya memprihatinkan.Banyak pasar tradisional yang tidak terawat sehingga dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh pasar modern kini pasar tradisional terancam oleh keberadaan pasar modern. Ekapribadi (2007) menambahkan bahwa mengenai kelemahan yang dimiliki pasar tradisional. Kelemahan tersebut telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit di ubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi pengeluaran, jam operasional  pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.
Faktor lain yang juga menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar tradisional adalah minimnya daya dukung karakteristik pedagang tradisional, yakni strategi perencanaan yang kurang baik, terbatasnya akses permodalan yang disebabkan jaminan (collateral) yang tidak mencukupi, tidak adanya skala ekonomi (economies of scale), tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar, buruknya manajemen pengadaan, dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan keinginan konsumen (Wiboonpongse dan Sriboonchitta 2006). Hal ini diperkuat dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Paesoro (2007) menunjukkan bahwa penyebab utama kalah bersaingnya pasar tradisional dengan supermarket adalah lemahnya manajemen dan buruknya infrastruktur pasar tradisional, bukan semata-mata karena keberadaan supermarket. Supermarket sebenarnya mengambil keuntungan dari kondisi buruk yang ada di pasar tradisional.
Diantara berbagai kelemahan yang telah disebutkaan diatas, pasar tradisional juga memiliki beberapa potensi kekuatan, terutama kekuatan sosio emosional yang tidak dimiliki oleh pasar Modern. Kekuatan pasar tradisional dapat dilihat dari beberapa aspek . Aspek-aspek tersebut diantaranya harganya yang relatif lebih murah dan bisa ditawar, dekat dengan pemukiman, dan memberikan banyak pilihan produk segar. Kelebihan lainnya adalah pengalaman berbelanja memegang langsung produk yang umumnya masih sangat segar. Akan tetapi dengan adanya hal tersebut bukan berarti pasar tradisional bukan tanpa kelemahan. Selama ini justru pasar tradisional lebih dikenal memiliki banyak kelemahan, antara lain kesan bahwa pasar terlihat becek, kotor, bau, dan terlalu padat lalu lintas pembelinya. Ditambah lagi ancaman bahwa keadaan sosial masyarakat yang berubah, dimana wanita diperkotaan umumnya berkarier sehingga hampir tidak mempunyai waktu untuk berbelanja ke pasar tradisional (Esther dan Dikdik, 2003).
Perubahan gaya hidup konsumen dalam perilaku membeli barang ritel diantaranya dipengaruhi oleh  kemudahan dan penjaminan mutu dari pasar modern, diantaranya: Pertama melalui skala ekonominya, pasar modern dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah. Kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan mudah diakses publik.Ketiga, pasar modern menyediakan lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan bersih, dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran seperti kartu kredit untuk peralatan rumah tangga berukuran besar. Keempat, produk yang di jual dipasar modern, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan dijual bila telah kadaluwarsa (Setiadi N, 2003).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SMERU (Suryadarma et al, 2007), mereka melakukan berbagai strategi harga seperti strategi limit harga, strategi pemangsaan lewat pemangkasan harga (predatory pricing), dan diskriminasi harga antar waktu (inter-temporal price discrimination). Misalnya memberikan diskon harga pada akhir minggu dan pada waktu tertentu. Sedangkan strategi nonharga antara lain dalam bentuk iklan, membuka gerai lebih lama, khususnya pada akhir minggu, bundling/tying (pembelian secara gabungan), dan parkir gratis.
KONDISI PASAR TRADISIONAL DI KABUPATEN PATI
Kehadiran pasar modern, terutama supermarket dan hipermarket, dianggap oleh berbagai kalangan telah menyudutkan keberadaan pasar tradisional di perkotaan. Di Indonesia, terdapat 13.450 pasar tradisional dengan sekitar 12,6 juta pedagang kecil (Kompas 2006). Berdasarkan hasil studi A.C. Nielsen, pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Jika kondisi ini tetap dibiarkan, ribuan bahkan jutaan pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya. Pasar tradisional mungkin akan tenggelam seiring dengan tren perkembangan dunia ritel saat ini yang didominasi oleh pasar modern.
Pati mempuyai 21 kecamatan, dan hampir di setiap kecamatan memiliki pasar sebagai representasi hubungan sosial-ekonomi  di Pati. Rata-rata pasar di masing-masing kecamatan adalah pasar tradisional, jumlah keseluruhan  83 pasar tradisional, 2 pasar grosir tradisional (BPS, 2009).
Sekarang ini di pusat kota kabupaten dibanjiri supermarket, minimarket dan mall. Tak ada lagi logika perimbangan antara jumlah penduduk kota dengan kebutuhan pasar/tempat berbelanja masyarakat. Sementara itu, di desa-desa, pasar tradisional sudah mulai tidak digemari. Para pedagang “sambat” dengan menurun drastisnya pengunjung. Belum habis penderitaan pedagang pasar tradisional karena sepi pembeli, muncul program renovasi pasar yang disertai dengan membumbungnya harga kios (Husaini, 2005).
Meskipun informasi tentang gaya hidup modern dengan mudah diperoleh, tetapi tampaknya masyarakat masih memiliki budaya untuk tetap berkunjung dan berbelanja ke pasar tradisional. Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara pasar tradisional dan pasar modern. Perbedaan itu adalah di pasar tradisional masih terjadi proses tawar menawar harga, sedangkan di pasar modern harga sudah pasti ditandai dengan label harga. Dalam proses tawar menawar terjalin kedekatan personal dan emosional antara penjual dan pembeli yang tidak mungkin didapatkan ketika berbelanja dipasar modern (Kompas, 2007).
Pedagang tradisional yang terkena imbas langsung dari keberadaan supermarket atau hipermarket adalah pedagang yang menjual produk yang sama dengan yang dijual di kedua tempat tersebut. Meskipun demikian, pedagang yang menjual makanan segar (daging, ayam, ikan, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lain-lain) masih bisa bersaing dengan supermarket dan hipermarket mengingat banyak pembeli masih memilih pergi ke pasar  tradisional untuk membeli produk tersebut. Keunggulan pasar modern atas pasar tradisional adalah bahwa mereka dapat menjual produk yang relatif sama dengan harga yang lebih murah, ditambah dengan kenyamanan berbelanja dan beragam pilihan cara pembayaran. Supermarket dan hipermarket juga menjalin kerja sama dengan pemasok besar dan biasanya untuk jangka waktu yang cukup lama. Hal ini yang menyebabkan mereka dapat melakukan efisiensi dengan memanfaatkan skala ekonomi yang besar.
Hal ini senada dengan pernyataan dari Daniel (2007) bahwa dampak umum persaingan antara pasar ritel pada pengusaha ritel tradisional adalah negatif dan kerap  mengikuti pola yang sama. Pengusaha ritel tradisional pertama yang terpaksa menutup bisnisnya umumnya adalah mereka yang menjual barang-barang umum, makanan olahan, produk susu, lalu di ikuti oleh toko yang menjual produk segar dan pasar basah. Setelah beberapa tahun bergelut dengan persaingan, perngusaha ritel tradisional yang biasanya masih tetap bertahan berdagang adalah mereka yang menjual satu jenis produk atau mereka yang berjualan dilokasi dimana supermarket secara resmi tidak diperkenankan untuk masuk.
Meskipun dengan kondisi yang tidak menguntungkan, tetap ditemukan adanya pasar tradisional yang mampu bertahan karena dikelola dengan baik dan memperhatikan seluruh aspek seperti kebersihan, kenyamanan, dan keamanan dalam berbelanja. Di Pati, Pasar-pasar utama di tingkat kecamatan dan Kota sebagian besar masih bertahan, meskipun dibeberapa wilayah desa, pasar desa suduh mulai kepayahan atau tidak lagi beroperasi karena kehilangan pelanggan. Paesoro (2007) menyebutkan bahwa kelebihan pasar tradisional adalah kekhasannya yang tidak dimiliki oleh pasar modern, seperti jual-beli dengan tawar-menawar harga dan suasana yang memungkinkan penjual dan pembeli menjalin kedekatan.
ANTISIPASI MEMPERTAHANKAN PASAR TRADISIONAL
Pasar tradisional selalu menjadi indikator nasional dalam stabilitas pangan seperti beras, gula, dan sembilan kebutuhan pokok lainnya. Kelangkaan beras di pasar misalnya, menyebabkan pemerintah kalang-kabut dan dapat menjadi ukuran kinerja para menteri bidang ekonomi. Bahkan pada masa-masa Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah, pasar tradisional selalu menjadi target tempat kampanye para calon Presiden maupun Calon Kepala Daerah.
Pasar tradisional di seluruh Indonesia masih merupakan wadah utama penjualan produk-produk berskala ekonomi rakyat seperti: petani, nelayan, pengrajin dan home industri (industri rakyat). Puluhan juta orang menyandarkan hidupnya kepada pasar tradisional. Interaksi sosial sangat kental didalam pasar, mulai dari tata cara penjualan (sistem tawar menawar) sampai dengan ragam latar belakang suku dan ras didalamnya (komunitas mana yang selengkap di pasar tradisional ?; mulai dari Keturunan Arab, Cina, Batak, Padang, Sunda, Jawa, Madura, semua ada). http://appsijatim.multiply.com/reviews/item/3
Pemerintah harus lebih serius dalam menata dan mempertahankan eksistensi pasar tradisional. Bagaimanapun, keberadaan pasar tradisional merupakan pusat kegiatan ekonomi masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Atribut pasar tradisional yang terkenal dengan kekumuhannya harus segera dihilangkan. Agar semua kalangan tidak malas pergi ke pasar tradisional, kenyamanan pembeli harus diprioritaskan. Jangan sampai pasar tradisional tergerus dengan perkembangan pasar modern. Karena arus globalisasi mendorong modernisasi di segala dimensi kehidupan. Hal ini dimaksudkan agar pasar tradisional menjadi penyeimbang pasar modern. Sebab, pasar tradisional bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat,  mulai dari orang kaya hingga orang miskin.
Beberapa pasar, seperti pasar Sukolilo, pasar Tambakromo, pasar Karaban, dan pasar Kayen  yang letaknya di pinggir jalan sering menyebabkan kemacetan. Hal ini disebabkan karena berjubelnya penjual dan pembeli, sehingga banyak pihak yang dirugikan terutama para pengguna jalan. Pasar tradisional juga sering disandingkan dengan ’’ketidakmampuan’’, kemelaratan, atau kemiskinan. Pergi ke pasar modern lebih bergengsi daripada ke pasar tradisional (Rohim, 2009).
Selama ini pasar tradisional selalu identik dengan tempat belanja yang kumuh, becek, serta bau, dan karenanya hanya didatangi oleh kelompok masyarakat kelas bawah. Asumsi seperti itu juga telah melekat dalam benak mayoritas masyarakat Pati.  Gambaran pasar seperti diatas harus dirubah menjadi tempat yang bersih dan  nyaman bagi pengunjung. Dengan demikian masyarakat dari semua kalangan akan tertarik untuk datang dan melakukan transaksi di pasar tradisional. Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai keberlangsungan dunia usaha harus memberikan kesempatan yang sama terhadap pedagang kecil, menengah maupun pedangang besar (Kompas, 2007).
Masalah infrastruktur yang hingga kini masih menjadi masalah serius di pasar tradisional adalah kebersihan dan tempat pembuangan sampah yang kurang terpelihara, kurangnya lahan parkir, dan buruknya sirkulasi udara. Belum lagi ditambah semakin menjamurnya PKL yang otomatis merugikan pedagang yang berjualan di dalam lingkungan pasar yang harus membayar penuh sewa dan retribusi. PKL menjual barang dagangan yang hampir sama dengan seluruh produk yang dijual di dalam pasar. Hanya daging segar saja yang tidak dijual oleh PKL. Dengan demikian, kebanyakan pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar untuk berbelanja karena mereka bisa membeli dari PKL di luar pasar.
Para pedagang , pengelola pasar, dan perwakilan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyatakan bahwa hal penting yang harus dilakukan untuk menjamin keberadaan pasar ini adalah dengan memperbaiki infrastuktur pasar tradisional, penataan ulang para PKL, dan penciptaan praktik pengelolaan pasar yang lebih baik. Kebanyakan para pedagang secara terbuka mengatakan keyakinan mereka bahwa kehadiran supermarket tidak akan menyingkirkan kegiatan bisnis mereka bila persyaratan diatas terpenuhi (Harmanto, 2007)
Kondisi tersebut diatas  membutuhkan adanya langkah nyata dari pedagang pasar agar dapat mempertahankan pelanggan dan keberadaan usahanya. Para pedagang di pasar tradisional harus mengembangkan strategi dan membangun rencana yang mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan konsumen sebagaimana yang dilakukan pasar modern. Jika tidak, maka mayoritas pasar tradisional di Indonesia beserta penghuninya hanya akan menjadi sejarah yang tersimpan dalam album kenangan industri ritel di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat.
Pertarungan sengit antara pedagang tradisional dengan peritel raksasa merupakan fenomena umum era globalisasi. Jika Pemerintah tak hati-hati, dengan membina keduanya supaya sinergis, Perpres Pasar Modern justru akan membuat semua pedagang tradisional mati secara sistematis. Hanya tinggal menunggu waktu pasar tradisional akan mati oleh pasar modern.  Setelah tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern (biasa disebut Perpres Pasar Modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember 2007 lalu. Terdapat enam pokok masalah diatur dalam Perpres yaitu definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal zonasi atau tata letak pasar tradisional dan pasar modern (hypermart), menurut Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah (Parman, 2009).
Sudah saatnya Pemerintah Pusat mempunyai peraturan atau kebijakan yang secara khusus mengatur pasar modern. Seiring dengan meningkatnya persaingan di bisnis ritel, ada beberapa hal yang harus menjadi landasan bagi pembuat kebijakan untuk menjaga kelangsungan hidup pasar tradisional. Pertama, memperbaiki sarana dan prasarana pasar tradisional. Masalah keterbatasan dana seyogianya dapat diatasi dengan melakukan kerja sama dengan pihak swasta. Konsep bangunan pasar pun ketika renovasi harus diperhatikan sehingga permasalahan seperti konsep bangunan yang tidak sesuai dengan keinginan penjual dan pembeli serta kurangnya sirkulasi udara tidak terulang kembali. Kedua, melakukan pembenahan total pada manajemen pasar. Sepatutnya, kepala pasar yang ditunjuk memiliki kemampuan dan kepandaian manajerial. Ketiga, mencari solusi jangka panjang mengenai PKL yang salah satunya adalah menyediakan tempat bagi PKL di dalam lingkungan pasar. Pedagang tradisional selama ini selalu dihadapkan pada masalah permodalan dan jaminan/asuransi atas barang dagangannya. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemda dan lembaga keuangan setempat memerhatikan hal ini. Strategi pengadaan barang yang kerap menjadi strategi utama pedagang tradisional adalah membeli barang dagangan dalam bentuk tunai dengan menggunakan dana pribadinya. Kondisi ini berdampak negatif terhadap usaha. Mereka menjadi sangat rentan terhadap kerugian yang disebabkan oleh rusaknya barang dagangan dan fluktuasi harga.  Untuk menghindari tenggelamnya pasar tradisional akibat kehadiran pasar modern, diperlukan pendekatan yang terpadu bagi ketiga permasalahan di atas, yakni adanya regulasi untuk melindungi pasar tradisional, dukungan perbaikan infrastruktur, penguatan manajemen dan modal pedagang di pasar tradisional (Paesoro, 2007).
KESIMPULAN
1.       Perkembangan Pasar Modern sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Awalnya pasar modern hanya sebagai pasar  alternatif akan tetapi dalam perkembangannya, saat ini keberadaan pasar modern cukup mengancam keberadaan pasar tradisional;
2.       Pasar tradisonal adalah pasar yang dikelola secara sederhana dengan bentuk fisik tradisional yang menerapkan system transaksi tawar menawar secara langsung dimana fungsi utamanya adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat baik di desa, kecamatan, dan lainnya;
3.       Pasar modern adalah pasar yang dikelola dengan manajemen modern, umumnya terdapat diperkotaan, sebagai penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen yang pada umumnya anggota masyarakat kelas menengah keatas. Pasar modern antara lain mall, supermarket, department store, shopping centre, waralaba, toko mini swalayan, pasar serba ada, toko serba ada dan sebagainya;
4.       Ekasistensi Pasar Tradisional mengalami penurunan seiring dengan semakin besarnya data tarik pasar modern. Penurunan kinerja pasar modern selain di sebabkan oleh maraknya pasar modern, juga disebabkan karena kelemahan manajemen pasar tradisional, masalah infrastruktur, dan lemahnya kerjasama, daya dukung permodalan dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan keinginan konsumen;
5.       Di tengah kondisi yang kurang menguntungkan, dengan segala kelebihan yang ditawarkan dan kekurangan yang dimiliki oleh pasar tradisional di Pati masih banyak yang bertahan terutama pasar-pasar tradisional utama yang terletak di tingkat kecamatan dan tingkat kota;
6.       Diperlukan upaya untuk mempertahankan pasar tradisional yang merupakan salah satu pusat ekonomi yang berbasis rakyat kecil,.langkah-langkah tersebut antara lain:  
a.    Daya dukung peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
b.      Perbaikan infrastruktur, sarana dan prasana;
c.       Penguatan menejemen pasar;
d.      Dukungan  permodalan

DAFTAR PUSTAKA
A.C. Nielsen (2005) Asia Pacific Retail and Shopper Trends 2005 [Tren Pembeli dan Ritel Asia Pasifik 2005].http://www.acnielsen.de/pubs/documents/RetailandShopperTrendsAsia2005.pdf
Anonimous. 2007. Kajian Dampak Ekonomi Keberadaan Hypermarket Terhadap ritel/pasartradisional. http://72.14.235.132/search?q=cache:IdHJXpmFiqcJ:www.indef.or.id/xplod/upload/pubs/exum_Hypermartket.PDF+dampak+pasar+modern+terhadap+pedagang+sayur+di+pasar+tradisional&cd=8&hl=id&ct=clnk&gl+id.      
BPS. 2009. Pati Dalam Angka
 Daniel, Wahyu. 2007. Peran Pasar Tradisional Memudar, DPD Tuding Pemodal Besar. Detiknet. Jakarta.http://jkt6a.detikspot.com/red/2007/08/23/105431/820634/4/
            peran-pasar-tradisional-memudar-dpd-tuding-pemodal-besar.
Esther dan Didik. 2003. Membuat Pasar Tradisional Tetap Eksis.Sinar Harapan. Jakarta
Harian Kompas. 2007. Hasil Penelitian: Pepres Tidak Ubah Kondisi Pasar Tradisional. Jakarta.                http://www.kompas.com/kompas-cetak/0704/19/ekonomi/3466033.htm
Harmanto. 2007. Pasar Tradisional Kita Semakin Babak Belur. http://harmanto.blog.detik.com/index.php/archieves/61
Husaini.2005.Membaca TataRuang Pati. 
Indrakh. 2007. Pasar Tradisional Di Tengah Kepungan Pasar Modern. http://www.indrakh.wordpress/2007/09/03/Pasar-Tradisional-di-Tengah-Kepungan-Pasar -Modern/
Kompas (2006) ’Jangan Biarkan Pasar Bersaing dengan Hipermarket’ [online] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/02/metro/2693747.htm [3 November 2010]
Paesoro, Adri. 2007. Pasar Tradisional di Era Persaingan Global. http://www.Smeru.or.id [17 November 2010]
BPS. 2009. Pati Dalam Angka
Rohim, M Abdul. 2009. Pembangunan Pasar Tradisional Pati.http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/11/09/87259/Pembangunan-Pasar-Tradisional-Pati-. [29 November 2010].
Setiadi, N.J. 2003. Perilaku Konsumen: Konsep dan Implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran. Jakarta: Kencana.
Sinaga, Pariaman. 2008. Menuju Pasar yang Berorientasi Pada Perilaku Konsumen. Artikel 
Suryadarma dkk. 2007. Laporan Penelitian: Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Pusat-pusat Perkotaan di Indonesia].Jakarta: Lembaga Penelitian  SMERU http://smeru.or.id.report/reseach/Supermarket/Supermarket_ind.pdf
Wiboonponse, Aree dan Songsak Sriboonchitta (2006). Mengamankan Partisipasi Produsen Kecil dalam Sistim Agro-Makanan Nasional dan Regional Yang Terestrukturisasi: Kasus Thailan. Regoverning Markets[online] http://www.regoverningmarkets.org [29 November 2010]
Wildan, Ekapribadi. 2007. Pasar Modern: Ancaman Bagi Pasar Tradisional.Wordpress.Jakarta
Wikipedia. 2007. Pasar. http://id.wikipedia.org/wiki/pasar/
____. Pertumbuhan Ritel Modern dan Dampaknya bagi Ritel Tradisional. http://appsijatim.multiply.com/reviews/item/3 [20 November 2010]

Siti Qorrotu Aini (Kantor Litbang Kab. Pati).Sumberhttp://litbang.patikab.go.id/

0 komentar:

Posting Komentar