OLEH : ELISA B JUSUF
Marketing Advisor
Di era globalisasi ini, makin menjamur saja minimarket, supermarket, dan hypermarket. Apakah pasar tradisional kita akan lenyap dalam beberapa tahun mendatang? Bagaimana cara mempertahankan pasar tradisional yang juga menjadi sumber nafkah ribuan pedagang kecil?
Dari tahun ke tahun jumlah pasar tradisional di Indonesia mengalami penurunan sekitar 11% dari 75% pada tahun 2001 menjadi 66% pada tahun 2005. Sedangkan jumlah supermarket dan hypermarket mengalami peningkatan sekitar 3 % dari 20% pada tahun 2001 menjadi 23% pada tahun 2005. Minimarket mengalamai kenaikan sebesar 7% dari 5% pada tahun 2001 menjadi 12% pada tahun 2005.
Saat mendengar kata ‘pasar tradisional’ yang persepsi yang muncul adalah murah, alami, kotor, jorok, bau, sumpek. Tapi, ketika membayangkan supermarket, yang terbayang adalah suasana bersih, rapi, teratur, dan leluasa, walaupun harganya relatif lebih mahal dari pasar tradisional. Sehingga muncul pertanyaan, kalau harga di supermarket relatif lebih mahal dari pada di pasar tradisional mengapa orang – orang lebih memilih berbelanja di supermarket?
Alasannya adalah, supermarket menawarkan one stop shopping spot bagi pelanggannya sehingga semua kebutuhan bisa ditemukan di supermarket dan hypermarket. Didukung dengan atmosfir eksklusif, kerapian dan kebersihan menawarkan kenyaman berbelanja.
Lalu, apa yang bisa diharapkan dari pasar tradisional? Pasar tradisional memang bukan one stop shopping spot. Karena tiap pasar punya keunikannya sendiri. Misal Pasar Keputeran terkenal dengan sayurnya yang fresh, Pasar Blauran yang terkenal dengan jajanan pasarnya. Tapi, pasar tradisional memberikan atmosfir persahabatan antara penjual. Ada interaksi baik antar pembeli maupun antara pembeli dan penjual. Ini yang tidak ditemukan di pasar modern yang terkesan individualis dan eksklusif.
Jurus jitu apa yang diperlukan oleh pasar tradisional untuk menghadapi persaingan dengan pasar modern saat ini???
Jurus jitu tersebut adalah : Pertama, melakukan Segmentation, Targeting dan Positioning. Kedua, memberikan nilai tambah yang dipromosikan. Ketiga, membangun brand / nama.
Dimulai dari mensegmentasikan dan menargetkan konsumen berdasarkan keunggulan yang dimiliki masing – masing pasar. Misal, Pasar Keputeran yang terkenal dengan hasil pertanian yang fresh dan harganya yang murah. Selanjutnya menentukan konsumen yang bagaimana yang akan dibidik. Mungkin Pasar Keputeran bisa dijadikan distributornya pedagang di pasar – pasar kecil lainnya di Surabaya. Sehingga menekankan pada penjualan grosir dan harga murah. Jadi, harus ditekankan pada para pedagang pasar Keputeran bahwa mereka hanya boleh menjual dalam jumlah besar. Dari sini jelas bahwa yang menjadi target konsumen Pasar Keputeran adalah para pedagang sayur di pasar lainnya di Surabaya.
Brand atau nama tujuannya sebagai tanda pengenal. Membangun brand pasar ini, pertama dengan mengubah image masyarakat tentang pasar tradisional yang terkesan jorok dan kotor harus diubah menjadi asri dan bersih. Lalu, melakukan positioning pada brand masing – masing pasar, misalnya dengan memberikan tag Line ’Keputeran Selalu Menawarkan Kesegaran’. Tapi tag line itu harus direalisasi dan dipenuhi oleh segenap pedagang pasar dan pemerintah. Karena tag line itu adalah sebuah janji yang harus dipenuhi. Tujuannya supaya masyarakat benar – benar merasakan adanya perubahan. Tujuan awalnya adalah menarik masyarakat berbelanja di pasar.
Kalau masyarakat atau konsumen sudah mulai berdatangan maka, yang dibutuhkan selanjutnya adalah usaha dari masing – masing pedagang untuk bersaing secara sehat satu sama lain. Karena di dalam pasar bisa didapati 10 penjual sayur yang menjual produk yang kurang lebih sama. Sehingga yang harus dilakukan para pedagang sayur ini adalah membangun brandnya masing – masing. Misalnya dengan memberi nama standnya ’Warung Sayur Mbah Surip’. Manfaatnya bagi pedagang tersebut adalah setidaknya ada nama yang bisa dikenal dan diingat oleh pembeli. Manfaat lainnya adalah memudahkan pelanggan mencari stand mereka. Jadi kalau ada orang yang lupa di mana letak stand Warung Sayur Mbah Surip maka dia bisa menanyakan pada orang sekitar karena ada nama sebagai tanda pengenal.
Sepertinya memang tampak sedikit aneh untuk melakukan perubahan ini pada pasar tradisional. Apa lagi dari jaman nenek moyang kita, yang namanya pedagang sayur tidak pernah memberi nama pada stand mereka. Tapi, sekarang ini jamannya sudah berubah! Kita hidup di era modern dengan persaingan super ketat. Konsumen makin pintar, maka produsen dan penjual harus lebih pintar dari konsumen. Konsumen sekarang memiliki banyak pertimbangan dalam memilih produk. Maka dari itu, produsen dan pedagang harus pintar – pintar menonjolkan nilai plus yang dimiliki.
”Nelayan dan petani akan terus terjepit karena mereka tidak pernah memberikan nilai tambah pada produk mereka.” kata David Sukardi Kodrat Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Ciputra.
Sama halnya dengan petani, pedagang pasar tradisional menjual hasil alam. Maka, yang perlu dilakukan oleh pedagang pasar adalah memberikan nilai pluspada produk yang dijual. Nilai plus itu bisa dalam bentuk macam – macam.
Nilai tambah ini bisa dimulai dari kebersihan dan kerapihan pada pasar tradisional. Kesadaran akan kebersihan harus dibangun dan ditumbuhkan di kalangan pedagang. Selain itu penataan barang dagangan yang rapi dan menujukkan keindahan. Lalu, kemasan yang menarik atau bahkan menghiasi stand dengan beberapa ornamen yang sederhana tapi tampak cantik. Acungan jempol bagi para pedagang sayur keliling yang secara tidak langsung mereka sudah melakukan pengembangan dalam cara menjual sayur. Kalau biasanya pasar berlokasi di satu tempat tertentu, pedagang keliling membuat konsep pasar berjalan. Akan tetapi perlu adanya pengembangan lebih apik untuk pedagang sayur keliling. Misalnya dengan membunyikan suara – suara tertentu saat berkeliling tujuannya untuk menarik perhatian orang yang di dalam rumah.
Saya yakin bahwa Pemda Surabaya dalam hal ini tidak tinggal diam dan terus melakukan usaha untuk membangun kembali citra pasar tradisional. Jika tidak, jumlah pasar tradisional yang dapat bertahan di Indonesia akan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Jangan meremehkan pedagang kecil, karena mereka adalah entrepreneur skala mikro yang akan menyokong perekonomian bangsa ini. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah pedagang kecil dan mikro di Jawa Timur tergolong tertinggi dengan rata – rata 20% (tahun 1998 – 2004) jika dibandingkan dengan propinsi – propinsi lain. Ini menunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki potensi Sumber Daya Manusia dan SDA yang besar, maka pedagang pasar tradisional perlu didukung untuk bersaing dengan pasar modern yang didominasi oleh perusahaan asing. Ini menjadi kewajiban pedagang, pengelolah pasar dan segenap masyarakat sekitar untuk turut serta dalam membangun perekonomian bangsa ini melalui industri mikro yang dimulai dari pasar tradisional dahulu.
Dimuat di Surabaya Post edisi 3 September 2009sumberhttps://optimizemarketing.wordpress.com/2010/02/02/jurus-jitu-bagi-pasar-tradisional-melawan-supermarket/
0 komentar:
Posting Komentar